Halaman

Senin, 27 Mei 2013

cerita rakyat

Cerita Rakyat Sumatera Selatan, Si Kulup Yang Durhaka

             Cerita ini berasal dari belitung. Dahulu ada sebuah keluarga masih bertempat tinggal di dekat sungai Cerucuk. Kehidupan keluarga tersebut sangatlah miskin. Mereka hidup dari mencari dedaunan maupun buah-buahan ynag ada di dalam hutan. Hasil pencahariannya dijual kepasar.
            Keluarga tersebut mempunyai seorang anak lelaki bernama Si Kulup. Si Kulup senang membantu orang tuanya mencari nafkah. Mereka saling membantu. Meskipun mereka hidup berkekurangan namun tidak pernah merasa menderita.
            Suatu ketika ayah Si Kulup pergi ke hutan untuk mencari rebung yang masih muda. Rebung itu dijadikan sayur untuk makan bertiga. Saat menebang rebung, terlihatlah oleh ayah Si Kulup sebatang tongkat berada pada rumpun bambu. Pak Kulup, demikian orang menyebut ayah Si Kulup mengamati tongkat tersebut. Semula tongkat itu akan dibuang, tetapi setelah diperhatikan betul dan dibersihkan ternyata tongkat itu bertabur intan permata dan merah delima.
Ia juga tetap membawa rebung pulang  karena dari situlah mata pencahariannya sehari-hyari. Pak Kulup dengan perasaan was-was, takut, membawa tongkat pulang kerumah. Sesampai di rumah, di dapatinya Si Kulup sedang tiduran. Istrinya bereda di rumah tetangga.
Si Kulup disuruh memanggil ibunya, tetapi pemuda itu tak mau. Ia baru saja pulang mendorong kereta. Badan masih lelah. Ia tidak tahu bahwa ayahnya membawa tongkat bertabur intan permata.
Pak Kulup pergi menyusul istrinya yang sedanga bertandang di rumah tetangga. Pak Kulup dan Mak Kulup terlihat asyik bercerita menuju rumahnya. Sampai di rumah, mereka berunding tentang tongkat yang ditemukan tadi siang.
Pak Kulup mengusulkan agar tongkat itu disimpan saja. Mungkin nanti ada yang mencarinya. Mak Kulup menjawab, “ mau disimpan dimana ? kita tidak punya lemari. “
KemudianSi Kulup pun usul, “ lebih baik dijual saja, supaya kita tidak repot menyimpannya.”
Akhirnya mereka bertiga sepakat untuk menjual tongkat temuannya. Si Kulup ditugasi untuk menjual tonkat tersebut ke negeri lain. Si Kulup pergi meninggalkan desanya. Tidak lama kemudian, tongkat itu pun terjual dengan harga yang sangat mahal.
Setelah Si Kulup menjadi kaya, ia tidak mau pulang kerumah orang tuanya. Ia tetap tinggal di rantauan. Karean ia selalu berkawan dengan anak-anak saudagar kaya, maka ia pun diambil menantu oleh saudagazr paling kaya di negeri itu.
Si Kulup sudah beristri. Meeka hidup serba berlebih. Si Kulup sudah lupa akan kedua orang tuanya yang menyuruh menjual tongkat.
Setelah bertahun-tahun mereka hidup di rantau, oleh mertuanya Si Kulup disuruh berniaga ke negeri lain bersama isterinya. Si Kulup lalu membeli sebuah kapal besar. Ia juga menyiapkan anak buahnya yang diajak serta berlayar. Mereka berdua minta doa restu kepada orang tuanya agar selamat dalam perjalanan dan berhasil mengembangkan dagangannya.
Mualilah mereka berlayar meninggalkan daerah perantauannya. Saat itu Si Kulup teringat kembali akan kampung halamannya. Ketika sampai di muara sungai Cerucuk mereka berlabuh. Suasana kapal sangat ramai karena suara dari binatang perbekalannya, seperti : ayam , itik angsa dan burung.
Kedatangan Si Kulup di desanya terdengar oleh kedua orang tuanya, terlebih-lebih emaknya. Eamknya menyiapkan makanan kesukaan Si Kulup seperti l; ketupat, rebus belut, panggang dan sebagainya. Kedua orang tuany adatang ke kapal sambil membawa makanan kesukaan anaknya.
Sesampai di kapal, kedua orang tua itu mencari anaknya Si Kulup. Si Kulup sudah menjadi saudagar kaya melihat kedua orang tuanya merasa malu. Maka diusirnyalah kedua orang tuanya. Buah tangan yang dibawa emaknya pun dibuang.
Saudagar kaya itu marah sambil beruocap, “ pergi ! lekas pergi! Aku tak mau punya orang tua seperti kalian. Jangan kotori temapatku ini.tidak tahu malu, mengaku diriku sebagai anakmu. Apa mungkin aku mempunyai orang tua miskin seperti kau ? enyahlah kau dari sini !”
Pak Kulup dan isterinya merasa terhina sekali. Mereka cepat-cepat meninggalkan kapal. Putuslah harapannya bertemu dan mendekap anak untuk melepas rasa rindu. Yan mereka terima hanyalah umpatan caci-maki dari anak akandungnya sendiri.
Setibanya di darat, emak Si Kulup tidak dapat menahan amarahnya. Ia benar-benar terpukul hatinya dengan peristiwa tadi. Ia berucap, “ kalau saudagar itu benar-benar anakku Si Kulup dan kini tidak mau mengaku kami sebagai orantuanya, mudah-mudahan kapal besar itu karam “
Selesai berucap demikian itu, ayah dan emak Si Kulup pulang kerumahnya dengan rasa kecewa. Tidak berapa lama terjadi suatu keanehan yang luar biasa, tiba-tiba gelombang laut sangat tinggi menerjang kapal saudagar kaya. Mula-mula kapal itu oleng ke kanan dan ke kiri, menimbulkan ketakutan luar biasa pada penumpangnya. Akhirnya kapal itu terbalik, semua penumpangnya tewas seketika.
Beberapa hari kemudian di tempat karamnya kapal besar itu muncullah sebuah pulau yang menyerupai kapal. Pada waktu-waktu tertentu terdengar suara binatan bawaan saudagar kaya. Maka hingga sekarang pulau itu dinamakan Pulau Kapal.







Legenda Candi Prambanan
Alkisah, pada dahulu kala terdapat sebuah kerajaan besar yang bernama Prambanan. Rakyatnya hidup tenteran dan damai. Tetapi, apa yang terjadi kemudian? Kerajaan Prambanan diserang dan dijajah oleh negeri Pengging. Ketentraman Kerajaan Prambanan menjadi terusik. Para tentara tidak mampu menghadapi serangan pasukan Pengging. Akhirnya, kerajaan Prambanan dikuasai oleh Pengging, dan dipimpin oleh Bandung Bondowoso.
Bandung Bondowoso seorang yang suka memerintah dengan kejam. “Siapapun yang tidak menuruti perintahku, akan dijatuhi hukuman berat!”, ujar Bandung Bondowoso pada rakyatnya. Bandung Bondowoso adalah seorang yang sakti dan mempunyai pasukan jin. Tidak berapa lama berkuasa, Bandung Bondowoso suka mengamati gerak-gerik Loro Jonggrang, putri Raja Prambanan yang cantik jelita. “Cantik nian putri itu. Aku ingin dia menjadi permaisuriku,” pikir Bandung Bondowoso.
Esok harinya, Bondowoso mendekati Loro Jonggrang. “Kamu cantik sekali, maukah kau menjadi permaisuriku ?”, Tanya Bandung Bondowoso kepada Loro Jonggrang. Loro Jonggrang tersentak, mendengar pertanyaan Bondowoso. “Laki-laki ini lancang sekali, belum kenal denganku langsung menginginkanku menjadi permaisurinya”, ujar Loro Jongrang dalam hati. “Apa yang harus aku lakukan ?”. Loro Jonggrang menjadi kebingungan. Pikirannya berputar-putar. Jika ia menolak, maka Bandung Bondowoso akan marah besar dan membahayakan keluarganya serta rakyat Prambanan. Untuk mengiyakannya pun tidak mungkin, karena Loro Jonggrang memang tidak suka dengan Bandung Bondowoso.
“Bagaimana, Loro Jonggrang ?” desak Bondowoso. Akhirnya Loro Jonggrang mendapatkan ide. “Saya bersedia menjadi istri Tuan, tetapi ada syaratnya,” Katanya. “Apa syaratnya? Ingin harta yang berlimpah? Atau Istana yang megah?”. “Bukan itu, tuanku, kata Loro Jonggrang. Saya minta dibuatkan candi, jumlahnya harus seribu buah. “Seribu buah?” teriak Bondowoso. “Ya, dan candi itu harus selesai dalam waktu semalam.” Bandung Bondowoso menatap Loro Jonggrang, bibirnya bergetar menahan amarah. Sejak saat itu Bandung Bondowoso berpikir bagaimana caranya membuat 1000 candi. Akhirnya ia bertanya kepada penasehatnya. “Saya percaya tuanku bias membuat candi tersebut dengan bantuan Jin!”, kata penasehat. “Ya, benar juga usulmu, siapkan peralatan yang kubutuhkan!”
Setelah perlengkapan di siapkan. Bandung Bondowoso berdiri di depan altar batu. Kedua lengannya dibentangkan lebar-lebar. “Pasukan jin, Bantulah aku!” teriaknya dengan suara menggelegar. Tak lama kemudian, langit menjadi gelap. Angin menderu-deru. Sesaat kemudian, pasukan jin sudah mengerumuni Bandung Bondowoso. “Apa yang harus kami lakukan Tuan ?”, tanya pemimpin jin. “Bantu aku membangun seribu candi,” pinta Bandung Bondowoso. Para jin segera bergerak ke sana kemari, melaksanakan tugas masing-masing. Dalam waktu singkat bangunan candi sudah tersusun hampir mencapai seribu buah.
Sementara itu, diam-diam Loro Jonggrang mengamati dari kejauhan. Ia cemas, mengetahui Bondowoso dibantu oleh pasukan jin. “Wah, bagaimana ini?”, ujar Loro Jonggrang dalam hati. Ia mencari akal. Para dayang kerajaan disuruhnya berkumpul dan ditugaskan mengumpulkan jerami. “Cepat bakar semua jerami itu!” perintah Loro Jonggrang. Sebagian dayang lainnya disuruhnya menumbuk lesung. Dung… dung…dung! Semburat warna merah memancar ke langit dengan diiringi suara hiruk pikuk, sehingga mirip seperti fajar yang menyingsing.
Pasukan jin mengira fajar sudah menyingsing. “Wah, matahari akan terbit!” seru jin. “Kita harus segera pergi sebelum tubuh kita dihanguskan matahari,” sambung jin yang lain. Para jin tersebut berhamburan pergi meninggalkan tempat itu. Bandung Bondowoso sempat heran melihat kepanikan pasukan jin.
Paginya, Bandung Bondowoso mengajak Loro Jonggrang ke tempat candi. “Candi yang kau minta sudah berdiri!”. Loro Jonggrang segera menghitung jumlah candi itu. Ternyata jumlahnya hanya 999 buah!. “Jumlahnya kurang satu!” seru Loro Jonggrang. “Berarti tuan telah gagal memenuhi syarat yang saya ajukan”. Bandung Bondowoso terkejut mengetahui kekurangan itu. Ia menjadi sangat murka. “Tidak mungkin…”, kata Bondowoso sambil menatap tajam pada Loro Jonggrang. “Kalau begitu kau saja yang melengkapinya!” katanya sambil mengarahkan jarinya pada Loro Jonggrang. Ajaib! Loro Jonggrang langsung berubah menjadi patung batu. Sampai saat ini candi-candi tersebut masih ada dan disebut Candi Loro Jonggrang. Karena terletak di wilayah Prambanan, Jawa Tengah, Candi Loro Jonggrang dikenal sebagai Candi Prambanan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar