Halaman

Senin, 27 Mei 2013

pendidikan di indonesia

D
I
S
U
S
U
N

Oleh:



Isnaini . Indah . M






Kelas : X.4


Guru pembimbing : Bu Dahlia S.Pd





1.Pendidikan di Indonesia

Pendidikan di Indonesia sangat diperhatikan oleh masyarakat Indonesia. Terbukti dari banyaknya artikel-artikel yang membahas tentang pendidikan di Indonesia. Beberapa waktu terakhir ini pendidikan di Indonesia mendapat angin segar karena 20 % APBN dialokasikan untuk bidang pendidikan. Hal ini membawa dampak positif bagi pendidikan di Indonesia.

Pendidikan di Indonesia memiliki sistem yang cukup baik akan tetapi pelaksanaan di lapangan masih jauh dari ketentuan yang berlaku. Misalnya penyelenggaraan ujian nasional. Ujian nasional yang telah disusun sedemikian dari sekian banyak ahli  sering menemui kendala di lapangan. Banyak sekali ditemukan hal-hal yang tidak seharusnya terjadi dan dilakukan oleh para oknum yang berkecimpun di dunia pendidikan.

Banyak sekali para pendidik dengan alasan kemanusiaan membantu para anak didik mereka di ujian nasional. Padahal mereka tahu dan mengerti betul hal tersebut tidak bisa dilakukan. Mereka menganggap anak didik mereka tidak diperlakukan secara adil karena mereka mengenyam pendidikan di bangku sekolah dengan failitas yang sangat minim dan kurangnnya informasi mereka dapat tentang ujian nasional.

Pelaksanaan ujian nasional merupakan PR yang terus bertambah dari tahun ke tahun dan tak kunjung selesai. Pendidikan memang sangat sulit utamanya bagi para pendidik hal tersebut diperparah dengan disahkannya undang-undang HAM yang tidak membenarkan seorang pendidik memberikan siswanya sanksi ketika melanggar aturan melalui kontak fisik. Hal ini membuat anak didik tidak lagi menghormati dan menghargai guru-guru mereka.

Mungkin kita masih sering mendengar cerita-cerita orang tua kita dahulu betapa mereka sangat segan dengan guru-guru mereka. Berbeda dengan sekarang, para anak didik sering berlaku tidak hormat kepada guru-guru mereka dan bahkan ada yang sampai membuat guru-guru mereka menangis di dalam kelas.

Mendidik sungguh pekerjaan yang sangat berat dan melelahkan dan memang sangat wajar jika pemerintah membeikan perhatian khusus di bidang pendidikan. Karena generasi muda tanpa pendidikan akan membuat negara tercinta kita ini hancur di masa yang akan datang.

2. tentang Sistem Pendidikan
Ketika dunia pendidikan kembali dituding telah gagal membentuk watak mulia pada anak didik. Maka, seperti biasa, segera muncul saran untuk memperbaiki kurikulum atau muatan pada mata ajaran. Tapi, bila sebelumnya yang dipersoalkan hanya sebatas masalah mata pelajaran atau paling jauh struktur kurikulum, Ajip Rosidi dan mungkin banyak dari kalangan pemerhati dan pelaku pendidikan, mempersoalkan hal yang lebih mendasar. Yakni tentang sistem pendidikan nasional yang ditudingnya masih mewarisi sistem pendidikan kolonial.

Diakui atau tidak, sistem pendidikan yang berjalan di Indonesia saat ini memang adalah sistem pendidikan yang sekular-materialistik. Bila disebut bahwa sistem pendidikan nasional masih mewarisi sistem pendidikan kolonial, maka watak sekuler-materialistik inilah yang paling utama, yang tampak jelas pada hilangnya nilai-nilai transedental pada semua proses pendidikan.

Sistem pendidikan semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia shaleh yang sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi. Secara kelembagaan, sekularisasi pendidikan menghasilkan dikotomi pendidikan yang sudah berjalan puluhan tahun, yakni antara pendidikan “agama” di satu sisi dengan pendidikan umum di sisi lain. Pendidikan agama melalui madrasah, institut agama dan pesantren dikelola oleh Departemen Agama, sementara pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah dan kejuruan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional.

Disadari atau tidak, berkembang penilaian bahwa hasil pendidikan haruslah dapat mengembalikan investasi yang telah ditanam. Pengembalian itu dapat berupa gelar kesarjanaan, jabatan, kekayaan atau apapun yang setara dengan nilai materi yang telah dikeluarkan. Agama ditempatkan pada posisi yang sangat individual. Nilai transendental dirasa tidak patut atau tidak perlu dijadikan sebagai standar penilaian sikap dan perbuatan. Tempatnya telah digantikan oleh etik yang pada faktanya bernilai materi juga.

Pendidikan Sekuler bagian dari Kehidupan Sekuuler
Sistem pendidikan yang material-sekuleristik tersebut sebenarnya hanyalah merupakan bagian belaka dari sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang juga sekuler. Dalam sistem sekuler, aturan-aturan, pandangan dan nilai-nilai Islam memang tidak pernah secara sengaja digunakan untuk menata berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan. Agama Islam, sebagaimana agama dalam pengertian Barat, hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja. Maka, di tengah-tengah sistem sekuleristik tadi lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama. Yakni tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik serta paradigma pendidikan yang materialistik.

Solusi Fundamental
Pendidikan yang materialistik adalah buah dari kehidupan sekuleristik yang terbukti telah gagal menghantarkan manusia menjadi sosok pribadi yang utuh, yakni seorang Abidu al-Shalih yang muslih. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, paradigma pendidikan yang keliru dimana dalam sistem kehidupan sekuler, asas penyelenggaraan pendidikan juga sekuler. Tujuan pendidikan yang ditetapkan juga adalah buah dari paham sekuleristik, yakni sekedar membentuk manusia-manusia yang berpaham materialistik dan serba individualistik.

Kedua, kelemahan fungsional pada tiga unsur pelaksana pendidikan, yakni (1) kelemahan pada lembaga pendidikan formal yang tercermin dari kacaunya kurikulum serta tidak berfungsinya guru dan lingkungan sekolah/kampus sebagai medium pendidikan sebagaimana mestinya, (2) kehidupan keluarga yang tidak mendukung, dan (3) keadaan masyarakat yang tidak kondusif .

Tidak berfungsinya guru/dosen dan rusaknya proses belajar mengajar tampak dari peran guru yang sekadar berfungsi sebagai pengajar dalam proses transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tidak sebagai pendidik yang berfungsi dalam transfer ilmu pengetahuan dan kepribadian (transfer of personality), karena memang kepribadian guru/dosen sendiri banyak tidak lagi pantas diteladani.

Lemahnya pengawasan terhadap pergaulan anak dan minimnya teladan dari orang tua dalam sikap keseharian terhadap anak-anaknya, makin memperparah terjadinya disfungsi rumah sebagai salah satu unsur pelaksana pendidikan.

Sementara itu, masyarakat yang semestinya menjadi media pendidikan yang riil justru berperan sebaliknya akibat dari berkembangnya sistem nilai sekuler yang tampak dari penataan semua aspek kehidupan baik di bidang ekonomi, politik, termasuk tata pergaulan sehari-hari yang bebas dan tak acuh pada norma agama; berita-berita pada media masa yang cenderung mempropagandakan hal-hal negatif seperti pornografi dan kekerasan, serta langkanya keteladanan pada masyarakat. Kelemahan pada unsur keluarga dan masyarakat ini pada akhirnya lebih banyak menginjeksikan beragam pengaruh negatif pada anak didik. Maka yang terjadi kemudian adalah sinergi pengaruh negatif kepada pribadi anak didik.

Oleh karena itu, penyelesaian problem pendidikan yang mendasar harus dilakukan pula secara fundamental, dan itu hanya dapat diujudkan dengan Oleh karena itu, penyelesaian problem pendidikan yang mendasar harus dilakukan pula secara fundamental, dan itu hanya dapat diujudkan dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekuler menjadi paradigma Islam. Sementara pada tataran derivatnya, kelemahan ketiga faktor di atas diselesaikan dengan cara memperbaiki strategi fungsionalnya sesuai dengan arahan Islam.

Solusi pada Tataran Paradigmatik.
Secara paradigmatik, pendidikan harus dikembalikan pada asas aqidah Islam yang bakal menjadi dasar penentuan arah dan tujuan pendidikan, penyusunan kurikulum dan standar nilai ilmu pengetahuan serta proses belajar mengajar, termasuk penentuan kualifikasi guru/dosen serta budaya sekolah/kampus yang akan dikembangkan. Sekalipun pengaruhnya tidak sebesar unsur pendidikan yang lain, penyediaan sarana dan prasarana juga harus mengacu pada asas di atas.

Melihat kondisi obyektif pendidikan saat ini, langkah yang diperlukan adalah optimasi pada proses-proses pembentukan kepribadian Islam (syakhshiyyah Islamiyyah) dan penguasaan tsaqofah Islam serta meningkatkan pengajaran sains-teknologi dan keahlian sebagaimana yang sudah ada dengan menata ontologi, epistemologi dan aksiologi keilmuan yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam, sekaligus mengintegrasikan ketiganya.)

Solusi pada Tataran Strategi Fungsional

Pendidikan yang integral harus melibatkan tiga unsur pelaksana: yaitu keluarga, sekolah/kampus dan masyarakat. Buruknya pendidikan anak di rumah memberi beban berat kepada sekolah/kampus dan menambah keruwetan persoalan di tengah masyarakat. Sementara, situasi masyarakat yang buruk jelas membuat nilai-nilai yang mungkin sudah berhasil ditanamkan di tengah keluarga dan sekolah/kampus menjadi kurang optimum. Apalagi bila pendidikan yang diterima di sekolah juga kurang bagus, maka lengkaplah kehancuran dari tiga pilar pendidikan tersebut.

Dalam pandangan sistem pendidikan Islam, semua unsur pelaksana pendidikan harus memberikan pengaruh positif kepada anak didik sedemikian sehingga arah dan tujuan pendidikan didukung dan dicapai secara bersama-sama, Kondisi tidak ideal seperti diuraikan di atas harus diatasi.

Solusi strategis fungsional sebenarnya sama dengan menggagas suatu sistem pendidikan alternatif yang bersendikan pada dua cara yang lebih bersifat strategis dan fungsional, yakni: Pertama, membangun lembaga pendidikan unggulan dimana semua komponen berbasis paradigma Islam, yaitu: (1) kurikulum yang paradigmatik, (2) guru/dosen yang profesional, amanah dan kafa’ah, (3) proses belajar mengajar secara Islami, dan (4) lingkungan dan budaya sekolah/kampus yang kondusif bagi pencapaian tujuan pendidikan secara optimal. Dengan melakukan optimasi proses belajar mengajar serta melakukan upaya meminimasi pengaruh-pengaruh negatif yang ada, dan pada saat yang sama meningkatkan pengaruh positif pada anak didik, diharapkan pengaruh yang diberikan pada pribadi anak didik adalah positif sejalan dengan arahan Islam.

Kedua, membuka lebar ruang interaksi dengan keluarga dan masyarakat agar keduanya dapat berperan optimal dalam menunjang proses pendidikan. Sinergi pengaruh positif dari faktor pendidikan sekolah/kampus – keluarga – masyarakat inilah yang akan membuat pribadi anak didik terbentuk secara utuh sesuai dengan kehendak Islam.

3. Inovasi Pendidikan
Inovasi pendidikan perlu dilakukan mengingat pendidikan akan mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam hal ini pembaruan teori dalam pendidikan.

Berikut ini adalah sebuah artikel yang menjelaskan Manfaat Pembaharuan Teori terhadap Pendidikan dalam Permasalahan tumbuh kembang dan pendidikan anak cerdas istimewa

Manfaat Pembaharuan Teori terhadap Pendidikan
Dengan berbagai perubahan penggunaan dasar teori giftedness, maka dampaknya adalah perubahan cara pendeteksian, pendiagnosisan, pengasuhan, dan pendidikan anak-anak cerdas istimewa. Namun pembaharuan dan perubahan ini memerlukan kesepakatan baik dalam tataran perguruan tinggi yang menjadi pusat pengembangan ilmiah, maupun dalam tataran praktikal di lapangan yang didukung oleh peraturan pemerintah. Tanpa adanya pembaharuan dan perubahan secara nasional, maka penanganan anak-anak cerdas istimewa Indonesia hanyalah akan bersifat sporadis, debat panas dan kontroversial akan tetap terus berlangsung. Hal ini hanya akan merugikan anak didik karena tak terpenuhinya tumbuh kembang anak dan pendidikan yang mendukung kebutuhannya. Dunia pendidikan Indonesia pun akan senantiasa tertinggal dari metoda dan tingkat mutu pendidikan secara mainstream internasional.

Dalam kelas reguler/inklusi dan kurikulum berdiferensiasi
Dalam laporan penelitian tiga bagian yang salah satunya adalah penelitian metateori yang dilakukan oleh T.Mooij dkk (2007) dari Centrum voor Begaafheid Onderzoek (pusat penelitian giftedness) Universitas Nijmegen – Belanda, memperlihatkan bahwa trend pendidikan anak cerdas istimewa secara mainstream kini lebih menyadari bahwa pendidikan untuk berbagai kelompok gifted ini lebih baik berada dalam sekolah atau kelas-kelas reguler bersama dengan anak-anak usia sebayanya. Hal ini dimaksudkan agar anak-anak ini dapat melakukan kontak yang baik dengan peer grup atau sebayanya, guna pengembangan sosial emosional yang tepat yaitu pengembangan self-esteem yang baik serta self-concepts yang realistis.12 Disamping itu, anak-anak ini juga membutuhkan metoda tersendiri terutama ditujukan pada aktualisasi prestasi dengan pendekatan multitalenta (lihat teori multifaktor dari Kurt Heller), maka dalam kelas-kelas reguler kepadanya diperlukan kurikulum yang sesuai dengan level masing-masing serta adanya kurikulum berdiferensiasi. Bentuk sekolah atau kelas reguler yang menerima beragam keunikan anak, dan memberikan tawaran pedidikan sesuai dengan keunikan anak didik, disebut sebagai kelas atau sekolah inklusi.

Beragam kelas atau sekolah inklusi yang banyak dikembangkan oleh berbagai negara mempunyai beberapa keragaman. Sebagai misal, Norwegia yang telah memulai pendidikan melalui kelas inklusi sejak adanya reformasi pendidikan tahun 1994 yang meletakkan anak-anak gifted bersama beragam anak-anak berkebutuhan khusus lainnya seperti anak berkecerdasan kurang dan terbatas, cacat fisik primer, dan anak-anak normal. (Bentuk seperti ini biasa disebut full-inclusion). Bentuk sekolah atau kelas inklusi seperti ini membutuhkan tawaran pendidikan dengan banyak level atau komptensi. Namun negara Belanda meletakkan anak gifted dalam sekolah inklusi yang terbatas bersama 4 kelompok lainnya yaitu: penyandang ADHD, Autisme, learning disabilities dan anak normal. Berbeda dengan model yang dikembangkan oleh Norwegia, dalam Undang-undang pendidikan Belanda, sekolah reguler sebagai sekolah inklusi hanya menerima anak berkecerdasan normal ke atas, dan tidak bergangguan cacat primer. Bentuk sekolah seperti ini telah berdiri sejak tahun 1990 dengan nama program We Zijn Weer Samen Naar School atau Kita Kembali Sekolah Bersama-sama. Nama seperti ini diberikan karena semula anakanak berkebutuhan khusus tersebut dipisah diletakkan di sekolah-sekolah khusus. Bentuk pendidikan di Belanda kini lebih kepada pendekatan sistem kompetensi atau level, dibagi dalam 3 kompetensi, yaitu kompetensi atas, rata-rata, dan bawah. Dan juga lebih kepada pendekatan pendidikan yang adaptif (adaptive education), dimana materi pendidikan yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi murid (Mönks & Pflüger, 2005, Dodde & Luene,1995 ) Maksud diadakan kurikulum berdiferensiasi bagi anak-anak gifted ini adalah (Mooij, 2007):
meningkatkan motivasi belajar anak didik
menghindari kebosanan dalam menempuh pelajaran
agar perkembangan anak menjadi lebih baik

4.Permasalahan Pendidikan

Semakin tertinggalnya pendidikan bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain, harusnya membuat kita lebih termotivasi untuk berbenah diri. Banyaknya permasalahan pendidikan yang muncul ke permukaan merupakan gambaran praktek pendidikan kita :

1. Kurikulum
Kurikulum kita yang dalam jangka waktu singkat selalu berubah-ubah tanpa ada hasil yang maksimal dan masih tetap saja. Yang jelas, menteri pendidikan berusaha eksis dalam mengujicobakan formula pendidikan baru dengan mengubah kurikulum. Perubahan kurikulum yang terus-menerus, pada prateknya kita tidak tau apa maksudnya dan yang beda hanya bukunya. Contohnya guru, banyak guru honorer yang masih susah payah mencukupi kebutuhannya sendiri. Kegagalan dalam kurikulum kita juga disebabkan oleh kurangnya pelatihan skill, kurangnya sosialisasi dan pembinaan terhadap kurikulum baru. Elemen dasar ini lah yang menentukan keberhasilan pendidikan yang kita tempuh

2. Biaya
Banyak masyarakat yang memiliki persepsi pendidikan itu mahal dan lebih parahnya banyak pula pejabat pendidikan yang ngomong, kalau pengen pendidikan yang berkualitas konsekuensinya harus membayar mahal. Pendidikan sekarang ini seperti diperjual-belikan bagi kalangan kapitalis pendidikan dan pemerintah sendiri seolah membiarkan saja dan lepas tangan. Apa mereka sudah mengenyam pendidikan?? Akhir-akhir ini pemerintah dalam sistem pendidikan yang baru akan membagi pendidikan menjadi dua jalur besar, yaitu jalur formal standar dan jalur formal mandiri. Pembagian jalur ini berdasarkan perbedaan kemampuan akademik dan finansial siswa. Ironis sekali bila kebijakan ini benar-benar terjadi.

3. Tujuan pendidikan
Katanya pendidikan itu mencerdaskan, tapi kenyataannya pendidikan itu menyesatkan. Lihat saja kualitas pendidikan kita hanya diukur dari ijazah yang kita dapat. Padahal sekarang ini banyak ijazah yang dijual dengan mudahnya dan banyak pula yang membelinya (baik dari masyarakat ataupun pejabat-pejabat).



4. Disahkannya RUU BHP menjadi Undang- Undang
DPR RI telah mensahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Hukum Pendidikan (BHP) menjadi Undang-Undang. Namun, disahkannya UU BHP ini banyak menuai protes dari kalangan mahasiswa yang khawatir akan terjadinya komersialisasi dan liberalisasi terhadap dunia pendidikan. Segala aspirasi dan masukan, sudah disampaikan kepada Pansus RUU BHP. UU BHP ini akan menjadi kerangka besar penataan organisasi pendidikan dalam jangka panjang.

5. Kontoversi diselenggaraknnya UN
Kedua, aspek yuridis. UN hanya mengukur kemampuan pengetahuan dan penentuan standar pendidikan yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah. Selain itu, pada pasal 59 ayat 1 dinyatakan, pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Tapi dalam UN pemerintah hanya melakukan evaluasi terhadap hasil belajar siswa yang sebenarnya merupakan tugas pendidik. Ketiga, aspek sosial dan psikologis. Dalam mekanisme UN yang diselenggarakannya, pemerintah telah mematok standar nilai kelulusan 3,01 pada tahun 2002/2003 menjadi 4,01 pada tahun 2003/2004 dan 4,25 pada tahun 2004/2005. Selain itu, belum dibuat sistem yang jelas untuk menangkal penyimpangan finansial dana UN.

6. Kerusakan Fasilitas
sekolah Nanang Fatah, pakar pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mengatakan, sekitar 60 persen bangunan sekolah di Indonesia rusak berat. Di wilayah Jabar, sekolah yang rusak mencapai 50 persen. Kerusakan bangunan sekolah tersebut berkaitan dengan usia bangunan yang sudah tua. Untuk mengantisipasi hal tersebut, sejak tahun 2000-2005 telah dilaksankan proyek perbaikan infrastruktur sekolah oleh Bank Dunia, dengan mengucurkan dana Bank Dunia pada Komite Sekolah.
                                                   

5. Pentingnya  Pendidikan

Pendidikan merupakan ilmu yang dapat kita pelajari. Dengan kata lain, pendidikan sangat erat kaitannya dengan pengetahuan. Di era globalisasi seperti sekarang ini, pendidikan memiliki peranan yang penting dalam meningkatkan taraf hidup. Bahkan, sebuah penelitian di Amerika Serikat menyatakan bahwa tingkat kesejahteraan pada umumnya sangat bergantung pada tinggi rendahnya tingkat pendidikan. Seseorang dengan pendidikan yang tinggi akan memiliki tingkat kesejahteraan yang baik, sebaliknya seseorang dengan pendidikan yang rendah akan memiliki tingkat kesejahteraan yang kurang baik. Mungkin anggapan itu tidak benar seutuhnya, banyak orang di luar sana yang berpendidikan rendah, tetapi mereka mempunyai tingkat kesejahteraan yang tinggi.
Pendidikan yang tinggi memang bukan suatu syarat mutlak untuk mencapai kesuksesan. Tetapi, paling tidak pendidikan dapat memberikan jaminan bagi kehidupan seseorang. Semakin ketat persaingan yang terjadi membuat peranan pendidikan semakin penting. Tidak kita pungkiri bahwa sebagian besar orang yang berpendidikan tinggi lebih cerdas dalam menyelesaikan masalah yang di hadapinya. Pendidikan pun secara tidak langsung dapat mempengaruhi pola pikir dan perilaku seseorang. Pendidikan itu ibarat bekal di masa depan dimana semakin ketatnya persaingan antara masing-masing pribadi. Lalu, bagaimana dengan anggapan bahwa wanita tidak harus mengenyam pendidikan yang tinggi? Anggapan seperti itu tentu masih sering kita dengar sekarang ini. “Perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi, karena pada akhirnya kaum perempuan hanya akan bekerja di dapur .” Apakah anggapan seperti itu benar? Ya, kewajiban seorang perempuan memang mengurus rumah tangga dan tentunya menjadi seorang ibu rumah tangga yang baik, itu telah menjadi kodratnya dalam kehidupan. Lalu, apa dengan alasan itu perempuan tidak perlu berpendidikan? Apakah sia-sia bila seorang perempuan berpendidikan tinggi?

Sedikit banyak kita ketahui, zaman telah mulai berubah. Dahulu, seorang laki-laki identik dengan tugasnya yang mencari nafkah untuk keluarga, sedangkan seorang perempuan bekewajiban untuk mengurus dan mendidik anak, serta menjadi seorang ibu rumah tangga. Tetapi, zaman sekarang perempuan juga bisa melakukan tugas seorang laki-laki untuk mencari nafkah tanpa mengesampingkan kewajibannya sebagai seorang ibu rumah tangga. Perempuan tentunya juga berhak untuk mengenyam pendidikan yang tinggi. Perempuan berhak untuk mengejar cita-cita nya. Jadi, tidak ada anggapan bahwa pendidikan tinggi untuk perempuan itu sia-sia. Pendidikan bagi perempuan juga dapat menjadi bekal di masa mendatang. Tentunya, kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi besok, lusa, setahun, atau sepuluh tahun lagi. Bila suatu keadaan mendesak terjadi, perempuan pun bisa menggantikan peran seorang laki-laki untuk menafkahi keluarganya.

Pernah saya menonton sebuah acara televisi yang dipandu oleh seorang motivator terkenal. Ketika seorang penonton bertanya padanya, “Apa gunanya istri anda mengenyam pendidikan tinggi sampai ke luar negri, bila pada nyatanya sekarang dia tidak berkarir?” Lalu sang motivator pun menjawab, “ Istri saya memang seorang ibu rumah tangga, ibu dari anak-anak saya, wanita yang saya cintai, penasehat saya dalam membangun usaha, pemilik asset dan pengelola dari bisnis-bisnis keluarga serta pemelihara kesehatan keluarga. Pendidikan istri saya sangatlah berguna.” Dari sini kita dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa pendidikan itu penting bagi setiap orang termasuk kaum perempuan. Kaum perempuan juga berhak mengeyam pendidikan yang tinggi.

Di era modern seperti sekarang ini, banyak kendala yang harus di hadapi untuk dapat memperoleh pendidikan yang tinggi. Salah satu dari kendala itu adalah besarnya biaya yang harus di keluarkan untuk mengayom pendidikan. Banyak orang-orang yang berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan tetapi mereka terpaksa menyurutkan keinginannya karena kekurangan biaya. Keadaan seperti ini tentunya sangat mengiris hati. Tidak kita pungkiri, semakin tinggi pendidikan maka semakin besar pula biaya yang harus di keluarkan. Apakah hanya orang-orang yang berkecukupan yang berhak untuk memperoleh pendidikan yang tinggi? Ini sangat tidak adil bukan? Memang sudah seharusnya pemerintah memberikan bantuan bagi mereka yang tidak mampu dan ingin melanjutkan pendidikannya. Sungguh amat disayangkan bila seorang yang seharusnya menjadi generasi penerus bangsa harus pupus cita-citanya hanya di karenakan kekurangan biaya. Tentunya pasti banyak masyarakat di berbagai negara yang mengalami hal serupa. Mereka terpaksa harus berhenti sekolah karena tidak berkecukupan dan akan membuat mereka merasa putus asa. Tentunya ini sangat memprihatinkan.

Keadaan yang sulit memang bila berada di posisi seperti itu, tapi satu hal yang perlu kita ingat, “ Dimana ada kemauan disitu akan ada harapan . ” Kita harus yakin, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Selama kita berkemauan keras dan berusaha maksimal, semua itu mungkin akan terjadi. Pernah suatu ketika saya membaca sebuah Koran harian nasional yang menuliskan tentang kisah seorang gadis yang mendapatkan beasiswa ke salah satu perguruan tinggi ternama diluar negri. Pengalaman yang sangat luar biasa pastinya. Gadis yang beruntung itu pada mulanya terancam tidak melanjutkan pendidikan ke bangku perguruan tinggi karena kekurangan biaya. Tetapi, dengan kegigihan dan kemauan keras untuk memperoleh pendidikan, ia mengikuti beasiswa dan alhasil ia diterima dan berhak mendapat beasiswa itu. Memang tentunya tidak mudah untuk mendapatkan apa yang kita inginkan, di butuhkan kemauan, doa, dan usaha yang gigih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar