D
I
S
U
S
U
N
Oleh:
Isnaini . Indah . M
Kelas : X.4
Guru pembimbing : Bu Dahlia S.Pd
1.Pendidikan di Indonesia
Pendidikan
di Indonesia sangat diperhatikan oleh masyarakat Indonesia. Terbukti
dari banyaknya artikel-artikel yang membahas tentang pendidikan di
Indonesia. Beberapa waktu terakhir ini pendidikan di Indonesia mendapat
angin segar karena 20 % APBN dialokasikan untuk bidang pendidikan. Hal
ini membawa dampak positif bagi pendidikan di Indonesia.
Pendidikan
di Indonesia memiliki sistem yang cukup baik akan tetapi pelaksanaan di
lapangan masih jauh dari ketentuan yang berlaku. Misalnya
penyelenggaraan ujian nasional. Ujian nasional yang telah disusun
sedemikian dari sekian banyak ahli sering menemui kendala di lapangan.
Banyak sekali ditemukan hal-hal yang tidak seharusnya terjadi dan
dilakukan oleh para oknum yang berkecimpun di dunia pendidikan.
Banyak
sekali para pendidik dengan alasan kemanusiaan membantu para anak didik
mereka di ujian nasional. Padahal mereka tahu dan mengerti betul hal
tersebut tidak bisa dilakukan. Mereka menganggap anak didik mereka tidak
diperlakukan secara adil karena mereka mengenyam pendidikan di bangku
sekolah dengan failitas yang sangat minim dan kurangnnya informasi
mereka dapat tentang ujian nasional.
Pelaksanaan ujian nasional
merupakan PR yang terus bertambah dari tahun ke tahun dan tak kunjung
selesai. Pendidikan memang sangat sulit utamanya bagi para pendidik hal
tersebut diperparah dengan disahkannya undang-undang HAM yang tidak
membenarkan seorang pendidik memberikan siswanya sanksi ketika melanggar
aturan melalui kontak fisik. Hal ini membuat anak didik tidak lagi
menghormati dan menghargai guru-guru mereka.
Mungkin kita masih
sering mendengar cerita-cerita orang tua kita dahulu betapa mereka
sangat segan dengan guru-guru mereka. Berbeda dengan sekarang, para anak
didik sering berlaku tidak hormat kepada guru-guru mereka dan bahkan
ada yang sampai membuat guru-guru mereka menangis di dalam kelas.
Mendidik
sungguh pekerjaan yang sangat berat dan melelahkan dan memang sangat
wajar jika pemerintah membeikan perhatian khusus di bidang pendidikan.
Karena generasi muda tanpa pendidikan akan membuat negara tercinta kita
ini hancur di masa yang akan datang.
2. tentang Sistem Pendidikan
Ketika
dunia pendidikan kembali dituding telah gagal membentuk watak mulia
pada anak didik. Maka, seperti biasa, segera muncul saran untuk
memperbaiki kurikulum atau muatan pada mata ajaran. Tapi, bila
sebelumnya yang dipersoalkan hanya sebatas masalah mata pelajaran atau
paling jauh struktur kurikulum, Ajip Rosidi dan mungkin banyak dari
kalangan pemerhati dan pelaku pendidikan, mempersoalkan hal yang lebih
mendasar. Yakni tentang sistem pendidikan nasional yang ditudingnya
masih mewarisi sistem pendidikan kolonial.
Diakui atau tidak,
sistem pendidikan yang berjalan di Indonesia saat ini memang adalah
sistem pendidikan yang sekular-materialistik. Bila disebut bahwa sistem
pendidikan nasional masih mewarisi sistem pendidikan kolonial, maka
watak sekuler-materialistik inilah yang paling utama, yang tampak jelas
pada hilangnya nilai-nilai transedental pada semua proses pendidikan.
Sistem
pendidikan semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia shaleh
yang sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan
sains dan teknologi. Secara kelembagaan, sekularisasi pendidikan
menghasilkan dikotomi pendidikan yang sudah berjalan puluhan tahun,
yakni antara pendidikan “agama” di satu sisi dengan pendidikan umum di
sisi lain. Pendidikan agama melalui madrasah, institut agama dan
pesantren dikelola oleh Departemen Agama, sementara pendidikan umum
melalui sekolah dasar, sekolah menengah dan kejuruan serta perguruan
tinggi umum dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional.
Disadari
atau tidak, berkembang penilaian bahwa hasil pendidikan haruslah dapat
mengembalikan investasi yang telah ditanam. Pengembalian itu dapat
berupa gelar kesarjanaan, jabatan, kekayaan atau apapun yang setara
dengan nilai materi yang telah dikeluarkan. Agama ditempatkan pada
posisi yang sangat individual. Nilai transendental dirasa tidak patut
atau tidak perlu dijadikan sebagai standar penilaian sikap dan
perbuatan. Tempatnya telah digantikan oleh etik yang pada faktanya
bernilai materi juga.
Pendidikan Sekuler bagian dari Kehidupan Sekuuler
Sistem
pendidikan yang material-sekuleristik tersebut sebenarnya hanyalah
merupakan bagian belaka dari sistem kehidupan bermasyarakat dan
bernegara yang juga sekuler. Dalam sistem sekuler, aturan-aturan,
pandangan dan nilai-nilai Islam memang tidak pernah secara sengaja
digunakan untuk menata berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan.
Agama Islam, sebagaimana agama dalam pengertian Barat, hanya ditempatkan
dalam urusan individu dengan tuhannya saja. Maka, di tengah-tengah
sistem sekuleristik tadi lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari
nilai-nilai agama. Yakni tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku
politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang
egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik serta
paradigma pendidikan yang materialistik.
Solusi Fundamental
Pendidikan
yang materialistik adalah buah dari kehidupan sekuleristik yang
terbukti telah gagal menghantarkan manusia menjadi sosok pribadi yang
utuh, yakni seorang Abidu al-Shalih yang muslih. Hal ini disebabkan oleh
dua hal. Pertama, paradigma pendidikan yang keliru dimana dalam sistem
kehidupan sekuler, asas penyelenggaraan pendidikan juga sekuler. Tujuan
pendidikan yang ditetapkan juga adalah buah dari paham sekuleristik,
yakni sekedar membentuk manusia-manusia yang berpaham materialistik dan
serba individualistik.
Kedua, kelemahan fungsional pada tiga
unsur pelaksana pendidikan, yakni (1) kelemahan pada lembaga pendidikan
formal yang tercermin dari kacaunya kurikulum serta tidak berfungsinya
guru dan lingkungan sekolah/kampus sebagai medium pendidikan sebagaimana
mestinya, (2) kehidupan keluarga yang tidak mendukung, dan (3) keadaan
masyarakat yang tidak kondusif .
Tidak berfungsinya guru/dosen
dan rusaknya proses belajar mengajar tampak dari peran guru yang sekadar
berfungsi sebagai pengajar dalam proses transfer ilmu pengetahuan
(transfer of knowledge), tidak sebagai pendidik yang berfungsi dalam
transfer ilmu pengetahuan dan kepribadian (transfer of personality),
karena memang kepribadian guru/dosen sendiri banyak tidak lagi pantas
diteladani.
Lemahnya pengawasan terhadap pergaulan anak dan
minimnya teladan dari orang tua dalam sikap keseharian terhadap
anak-anaknya, makin memperparah terjadinya disfungsi rumah sebagai salah
satu unsur pelaksana pendidikan.
Sementara itu, masyarakat yang
semestinya menjadi media pendidikan yang riil justru berperan sebaliknya
akibat dari berkembangnya sistem nilai sekuler yang tampak dari
penataan semua aspek kehidupan baik di bidang ekonomi, politik, termasuk
tata pergaulan sehari-hari yang bebas dan tak acuh pada norma agama;
berita-berita pada media masa yang cenderung mempropagandakan hal-hal
negatif seperti pornografi dan kekerasan, serta langkanya keteladanan
pada masyarakat. Kelemahan pada unsur keluarga dan masyarakat ini pada
akhirnya lebih banyak menginjeksikan beragam pengaruh negatif pada anak
didik. Maka yang terjadi kemudian adalah sinergi pengaruh negatif kepada
pribadi anak didik.
Oleh karena itu, penyelesaian problem
pendidikan yang mendasar harus dilakukan pula secara fundamental, dan
itu hanya dapat diujudkan dengan Oleh karena itu, penyelesaian problem
pendidikan yang mendasar harus dilakukan pula secara fundamental, dan
itu hanya dapat diujudkan dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh
yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekuler menjadi
paradigma Islam. Sementara pada tataran derivatnya, kelemahan ketiga
faktor di atas diselesaikan dengan cara memperbaiki strategi
fungsionalnya sesuai dengan arahan Islam.
Solusi pada Tataran Paradigmatik.
Secara
paradigmatik, pendidikan harus dikembalikan pada asas aqidah Islam yang
bakal menjadi dasar penentuan arah dan tujuan pendidikan, penyusunan
kurikulum dan standar nilai ilmu pengetahuan serta proses belajar
mengajar, termasuk penentuan kualifikasi guru/dosen serta budaya
sekolah/kampus yang akan dikembangkan. Sekalipun pengaruhnya tidak
sebesar unsur pendidikan yang lain, penyediaan sarana dan prasarana juga
harus mengacu pada asas di atas.
Melihat kondisi obyektif
pendidikan saat ini, langkah yang diperlukan adalah optimasi pada
proses-proses pembentukan kepribadian Islam (syakhshiyyah Islamiyyah)
dan penguasaan tsaqofah Islam serta meningkatkan pengajaran
sains-teknologi dan keahlian sebagaimana yang sudah ada dengan menata
ontologi, epistemologi dan aksiologi keilmuan yang berlandaskan pada
nilai-nilai Islam, sekaligus mengintegrasikan ketiganya.)
Solusi pada Tataran Strategi Fungsional
Pendidikan
yang integral harus melibatkan tiga unsur pelaksana: yaitu keluarga,
sekolah/kampus dan masyarakat. Buruknya pendidikan anak di rumah memberi
beban berat kepada sekolah/kampus dan menambah keruwetan persoalan di
tengah masyarakat. Sementara, situasi masyarakat yang buruk jelas
membuat nilai-nilai yang mungkin sudah berhasil ditanamkan di tengah
keluarga dan sekolah/kampus menjadi kurang optimum. Apalagi bila
pendidikan yang diterima di sekolah juga kurang bagus, maka lengkaplah
kehancuran dari tiga pilar pendidikan tersebut.
Dalam pandangan
sistem pendidikan Islam, semua unsur pelaksana pendidikan harus
memberikan pengaruh positif kepada anak didik sedemikian sehingga arah
dan tujuan pendidikan didukung dan dicapai secara bersama-sama, Kondisi
tidak ideal seperti diuraikan di atas harus diatasi.
Solusi
strategis fungsional sebenarnya sama dengan menggagas suatu sistem
pendidikan alternatif yang bersendikan pada dua cara yang lebih bersifat
strategis dan fungsional, yakni: Pertama, membangun lembaga pendidikan
unggulan dimana semua komponen berbasis paradigma Islam, yaitu: (1)
kurikulum yang paradigmatik, (2) guru/dosen yang profesional, amanah dan
kafa’ah, (3) proses belajar mengajar secara Islami, dan (4) lingkungan
dan budaya sekolah/kampus yang kondusif bagi pencapaian tujuan
pendidikan secara optimal. Dengan melakukan optimasi proses belajar
mengajar serta melakukan upaya meminimasi pengaruh-pengaruh negatif yang
ada, dan pada saat yang sama meningkatkan pengaruh positif pada anak
didik, diharapkan pengaruh yang diberikan pada pribadi anak didik adalah
positif sejalan dengan arahan Islam.
Kedua, membuka lebar ruang
interaksi dengan keluarga dan masyarakat agar keduanya dapat berperan
optimal dalam menunjang proses pendidikan. Sinergi pengaruh positif dari
faktor pendidikan sekolah/kampus – keluarga – masyarakat inilah yang
akan membuat pribadi anak didik terbentuk secara utuh sesuai dengan
kehendak Islam.
3. Inovasi Pendidikan
Inovasi pendidikan
perlu dilakukan mengingat pendidikan akan mengalami perubahan sesuai
dengan perkembangan zaman. Dalam hal ini pembaruan teori dalam
pendidikan.
Berikut ini adalah sebuah artikel yang menjelaskan
Manfaat Pembaharuan Teori terhadap Pendidikan dalam Permasalahan tumbuh
kembang dan pendidikan anak cerdas istimewa
Manfaat Pembaharuan Teori terhadap Pendidikan
Dengan
berbagai perubahan penggunaan dasar teori giftedness, maka dampaknya
adalah perubahan cara pendeteksian, pendiagnosisan, pengasuhan, dan
pendidikan anak-anak cerdas istimewa. Namun pembaharuan dan perubahan
ini memerlukan kesepakatan baik dalam tataran perguruan tinggi yang
menjadi pusat pengembangan ilmiah, maupun dalam tataran praktikal di
lapangan yang didukung oleh peraturan pemerintah. Tanpa adanya
pembaharuan dan perubahan secara nasional, maka penanganan anak-anak
cerdas istimewa Indonesia hanyalah akan bersifat sporadis, debat panas
dan kontroversial akan tetap terus berlangsung. Hal ini hanya akan
merugikan anak didik karena tak terpenuhinya tumbuh kembang anak dan
pendidikan yang mendukung kebutuhannya. Dunia pendidikan Indonesia pun
akan senantiasa tertinggal dari metoda dan tingkat mutu pendidikan
secara mainstream internasional.
Dalam kelas reguler/inklusi dan kurikulum berdiferensiasi
Dalam
laporan penelitian tiga bagian yang salah satunya adalah penelitian
metateori yang dilakukan oleh T.Mooij dkk (2007) dari Centrum voor
Begaafheid Onderzoek (pusat penelitian giftedness) Universitas Nijmegen –
Belanda, memperlihatkan bahwa trend pendidikan anak cerdas istimewa
secara mainstream kini lebih menyadari bahwa pendidikan untuk berbagai
kelompok gifted ini lebih baik berada dalam sekolah atau kelas-kelas
reguler bersama dengan anak-anak usia sebayanya. Hal ini dimaksudkan
agar anak-anak ini dapat melakukan kontak yang baik dengan peer grup
atau sebayanya, guna pengembangan sosial emosional yang tepat yaitu
pengembangan self-esteem yang baik serta self-concepts yang realistis.12
Disamping itu, anak-anak ini juga membutuhkan metoda tersendiri
terutama ditujukan pada aktualisasi prestasi dengan pendekatan
multitalenta (lihat teori multifaktor dari Kurt Heller), maka dalam
kelas-kelas reguler kepadanya diperlukan kurikulum yang sesuai dengan
level masing-masing serta adanya kurikulum berdiferensiasi. Bentuk
sekolah atau kelas reguler yang menerima beragam keunikan anak, dan
memberikan tawaran pedidikan sesuai dengan keunikan anak didik, disebut
sebagai kelas atau sekolah inklusi.
Beragam kelas atau sekolah
inklusi yang banyak dikembangkan oleh berbagai negara mempunyai beberapa
keragaman. Sebagai misal, Norwegia yang telah memulai pendidikan
melalui kelas inklusi sejak adanya reformasi pendidikan tahun 1994 yang
meletakkan anak-anak gifted bersama beragam anak-anak berkebutuhan
khusus lainnya seperti anak berkecerdasan kurang dan terbatas, cacat
fisik primer, dan anak-anak normal. (Bentuk seperti ini biasa disebut
full-inclusion). Bentuk sekolah atau kelas inklusi seperti ini
membutuhkan tawaran pendidikan dengan banyak level atau komptensi. Namun
negara Belanda meletakkan anak gifted dalam sekolah inklusi yang
terbatas bersama 4 kelompok lainnya yaitu: penyandang ADHD, Autisme,
learning disabilities dan anak normal. Berbeda dengan model yang
dikembangkan oleh Norwegia, dalam Undang-undang pendidikan Belanda,
sekolah reguler sebagai sekolah inklusi hanya menerima anak
berkecerdasan normal ke atas, dan tidak bergangguan cacat primer. Bentuk
sekolah seperti ini telah berdiri sejak tahun 1990 dengan nama program
We Zijn Weer Samen Naar School atau Kita Kembali Sekolah Bersama-sama.
Nama seperti ini diberikan karena semula anakanak berkebutuhan khusus
tersebut dipisah diletakkan di sekolah-sekolah khusus. Bentuk pendidikan
di Belanda kini lebih kepada pendekatan sistem kompetensi atau level,
dibagi dalam 3 kompetensi, yaitu kompetensi atas, rata-rata, dan bawah.
Dan juga lebih kepada pendekatan pendidikan yang adaptif (adaptive
education), dimana materi pendidikan yang diberikan disesuaikan dengan
kebutuhan dan kondisi murid (Mönks & Pflüger, 2005, Dodde &
Luene,1995 ) Maksud diadakan kurikulum berdiferensiasi bagi anak-anak
gifted ini adalah (Mooij, 2007):
meningkatkan motivasi belajar anak didik
menghindari kebosanan dalam menempuh pelajaran
agar perkembangan anak menjadi lebih baik
4.Permasalahan Pendidikan
Semakin
tertinggalnya pendidikan bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain,
harusnya membuat kita lebih termotivasi untuk berbenah diri. Banyaknya
permasalahan pendidikan yang muncul ke permukaan merupakan gambaran
praktek pendidikan kita :
1. Kurikulum
Kurikulum kita yang
dalam jangka waktu singkat selalu berubah-ubah tanpa ada hasil yang
maksimal dan masih tetap saja. Yang jelas, menteri pendidikan berusaha
eksis dalam mengujicobakan formula pendidikan baru dengan mengubah
kurikulum. Perubahan kurikulum yang terus-menerus, pada prateknya kita
tidak tau apa maksudnya dan yang beda hanya bukunya. Contohnya guru,
banyak guru honorer yang masih susah payah mencukupi kebutuhannya
sendiri. Kegagalan dalam kurikulum kita juga disebabkan oleh kurangnya
pelatihan skill, kurangnya sosialisasi dan pembinaan terhadap kurikulum
baru. Elemen dasar ini lah yang menentukan keberhasilan pendidikan yang
kita tempuh
2. Biaya
Banyak masyarakat yang memiliki
persepsi pendidikan itu mahal dan lebih parahnya banyak pula pejabat
pendidikan yang ngomong, kalau pengen pendidikan yang berkualitas
konsekuensinya harus membayar mahal. Pendidikan sekarang ini seperti
diperjual-belikan bagi kalangan kapitalis pendidikan dan pemerintah
sendiri seolah membiarkan saja dan lepas tangan. Apa mereka sudah
mengenyam pendidikan?? Akhir-akhir ini pemerintah dalam sistem
pendidikan yang baru akan membagi pendidikan menjadi dua jalur besar,
yaitu jalur formal standar dan jalur formal mandiri. Pembagian jalur ini
berdasarkan perbedaan kemampuan akademik dan finansial siswa. Ironis
sekali bila kebijakan ini benar-benar terjadi.
3. Tujuan pendidikan
Katanya
pendidikan itu mencerdaskan, tapi kenyataannya pendidikan itu
menyesatkan. Lihat saja kualitas pendidikan kita hanya diukur dari
ijazah yang kita dapat. Padahal sekarang ini banyak ijazah yang dijual
dengan mudahnya dan banyak pula yang membelinya (baik dari masyarakat
ataupun pejabat-pejabat).
4. Disahkannya RUU BHP menjadi Undang- Undang
DPR
RI telah mensahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Hukum Pendidikan
(BHP) menjadi Undang-Undang. Namun, disahkannya UU BHP ini banyak
menuai protes dari kalangan mahasiswa yang khawatir akan terjadinya
komersialisasi dan liberalisasi terhadap dunia pendidikan. Segala
aspirasi dan masukan, sudah disampaikan kepada Pansus RUU BHP. UU BHP
ini akan menjadi kerangka besar penataan organisasi pendidikan dalam
jangka panjang.
5. Kontoversi diselenggaraknnya UN
Kedua,
aspek yuridis. UN hanya mengukur kemampuan pengetahuan dan penentuan
standar pendidikan yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah.
Selain itu, pada pasal 59 ayat 1 dinyatakan, pemerintah dan pemerintah
daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan jalur, jenjang, dan
jenis pendidikan. Tapi dalam UN pemerintah hanya melakukan evaluasi
terhadap hasil belajar siswa yang sebenarnya merupakan tugas pendidik.
Ketiga, aspek sosial dan psikologis. Dalam mekanisme UN yang
diselenggarakannya, pemerintah telah mematok standar nilai kelulusan
3,01 pada tahun 2002/2003 menjadi 4,01 pada tahun 2003/2004 dan 4,25
pada tahun 2004/2005. Selain itu, belum dibuat sistem yang jelas untuk
menangkal penyimpangan finansial dana UN.
6. Kerusakan Fasilitas
sekolah
Nanang Fatah, pakar pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
mengatakan, sekitar 60 persen bangunan sekolah di Indonesia rusak berat.
Di wilayah Jabar, sekolah yang rusak mencapai 50 persen. Kerusakan
bangunan sekolah tersebut berkaitan dengan usia bangunan yang sudah tua.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, sejak tahun 2000-2005 telah
dilaksankan proyek perbaikan infrastruktur sekolah oleh Bank Dunia,
dengan mengucurkan dana Bank Dunia pada Komite Sekolah.
5. Pentingnya Pendidikan
Pendidikan
merupakan ilmu yang dapat kita pelajari. Dengan kata lain, pendidikan
sangat erat kaitannya dengan pengetahuan. Di era globalisasi seperti
sekarang ini, pendidikan memiliki peranan yang penting dalam
meningkatkan taraf hidup. Bahkan, sebuah penelitian di Amerika Serikat
menyatakan bahwa tingkat kesejahteraan pada umumnya sangat bergantung
pada tinggi rendahnya tingkat pendidikan. Seseorang dengan pendidikan
yang tinggi akan memiliki tingkat kesejahteraan yang baik, sebaliknya
seseorang dengan pendidikan yang rendah akan memiliki tingkat
kesejahteraan yang kurang baik. Mungkin anggapan itu tidak benar
seutuhnya, banyak orang di luar sana yang berpendidikan rendah, tetapi
mereka mempunyai tingkat kesejahteraan yang tinggi.
Pendidikan yang
tinggi memang bukan suatu syarat mutlak untuk mencapai kesuksesan.
Tetapi, paling tidak pendidikan dapat memberikan jaminan bagi kehidupan
seseorang. Semakin ketat persaingan yang terjadi membuat peranan
pendidikan semakin penting. Tidak kita pungkiri bahwa sebagian besar
orang yang berpendidikan tinggi lebih cerdas dalam menyelesaikan masalah
yang di hadapinya. Pendidikan pun secara tidak langsung dapat
mempengaruhi pola pikir dan perilaku seseorang. Pendidikan itu ibarat
bekal di masa depan dimana semakin ketatnya persaingan antara
masing-masing pribadi. Lalu, bagaimana dengan anggapan bahwa wanita
tidak harus mengenyam pendidikan yang tinggi? Anggapan seperti itu tentu
masih sering kita dengar sekarang ini. “Perempuan tidak perlu
berpendidikan tinggi, karena pada akhirnya kaum perempuan hanya akan
bekerja di dapur .” Apakah anggapan seperti itu benar? Ya, kewajiban
seorang perempuan memang mengurus rumah tangga dan tentunya menjadi
seorang ibu rumah tangga yang baik, itu telah menjadi kodratnya dalam
kehidupan. Lalu, apa dengan alasan itu perempuan tidak perlu
berpendidikan? Apakah sia-sia bila seorang perempuan berpendidikan
tinggi?
Sedikit banyak kita ketahui, zaman telah mulai berubah.
Dahulu, seorang laki-laki identik dengan tugasnya yang mencari nafkah
untuk keluarga, sedangkan seorang perempuan bekewajiban untuk mengurus
dan mendidik anak, serta menjadi seorang ibu rumah tangga. Tetapi, zaman
sekarang perempuan juga bisa melakukan tugas seorang laki-laki untuk
mencari nafkah tanpa mengesampingkan kewajibannya sebagai seorang ibu
rumah tangga. Perempuan tentunya juga berhak untuk mengenyam pendidikan
yang tinggi. Perempuan berhak untuk mengejar cita-cita nya. Jadi, tidak
ada anggapan bahwa pendidikan tinggi untuk perempuan itu sia-sia.
Pendidikan bagi perempuan juga dapat menjadi bekal di masa mendatang.
Tentunya, kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi besok, lusa,
setahun, atau sepuluh tahun lagi. Bila suatu keadaan mendesak terjadi,
perempuan pun bisa menggantikan peran seorang laki-laki untuk menafkahi
keluarganya.
Pernah saya menonton sebuah acara televisi yang
dipandu oleh seorang motivator terkenal. Ketika seorang penonton
bertanya padanya, “Apa gunanya istri anda mengenyam pendidikan tinggi
sampai ke luar negri, bila pada nyatanya sekarang dia tidak berkarir?”
Lalu sang motivator pun menjawab, “ Istri saya memang seorang ibu rumah
tangga, ibu dari anak-anak saya, wanita yang saya cintai, penasehat saya
dalam membangun usaha, pemilik asset dan pengelola dari bisnis-bisnis
keluarga serta pemelihara kesehatan keluarga. Pendidikan istri saya
sangatlah berguna.” Dari sini kita dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa
pendidikan itu penting bagi setiap orang termasuk kaum perempuan. Kaum
perempuan juga berhak mengeyam pendidikan yang tinggi.
Di era
modern seperti sekarang ini, banyak kendala yang harus di hadapi untuk
dapat memperoleh pendidikan yang tinggi. Salah satu dari kendala itu
adalah besarnya biaya yang harus di keluarkan untuk mengayom pendidikan.
Banyak orang-orang yang berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan
tetapi mereka terpaksa menyurutkan keinginannya karena kekurangan biaya.
Keadaan seperti ini tentunya sangat mengiris hati. Tidak kita pungkiri,
semakin tinggi pendidikan maka semakin besar pula biaya yang harus di
keluarkan. Apakah hanya orang-orang yang berkecukupan yang berhak untuk
memperoleh pendidikan yang tinggi? Ini sangat tidak adil bukan? Memang
sudah seharusnya pemerintah memberikan bantuan bagi mereka yang tidak
mampu dan ingin melanjutkan pendidikannya. Sungguh amat disayangkan bila
seorang yang seharusnya menjadi generasi penerus bangsa harus pupus
cita-citanya hanya di karenakan kekurangan biaya. Tentunya pasti banyak
masyarakat di berbagai negara yang mengalami hal serupa. Mereka terpaksa
harus berhenti sekolah karena tidak berkecukupan dan akan membuat
mereka merasa putus asa. Tentunya ini sangat memprihatinkan.
Keadaan
yang sulit memang bila berada di posisi seperti itu, tapi satu hal yang
perlu kita ingat, “ Dimana ada kemauan disitu akan ada harapan . ” Kita
harus yakin, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Selama kita
berkemauan keras dan berusaha maksimal, semua itu mungkin akan terjadi.
Pernah suatu ketika saya membaca sebuah Koran harian nasional yang
menuliskan tentang kisah seorang gadis yang mendapatkan beasiswa ke
salah satu perguruan tinggi ternama diluar negri. Pengalaman yang sangat
luar biasa pastinya. Gadis yang beruntung itu pada mulanya terancam
tidak melanjutkan pendidikan ke bangku perguruan tinggi karena
kekurangan biaya. Tetapi, dengan kegigihan dan kemauan keras untuk
memperoleh pendidikan, ia mengikuti beasiswa dan alhasil ia diterima dan
berhak mendapat beasiswa itu. Memang tentunya tidak mudah untuk
mendapatkan apa yang kita inginkan, di butuhkan kemauan, doa, dan usaha
yang gigih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar